Menakar Peran Riset dalam Mengatasi Emerging Issues, Katadata

Menurut Penasihat Senior CIPG Yanuar Nugroho, negara belum memprioritaskan riset. Itu mengapa penelitian dasar maupun terapan di perguruan tinggi atau lembaga riset minim dukungan. Alhasil, ketika dibutuhkan, riset dan inovasi kewalahan untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Seperti kehadiran emerging issue pandemi COVID-19. Minimnya peran ilmu pengetahuan dalam pembangunan dan proses pembuatan kebijakan membuat keputusan yang diambil menjadi tidak optimal.

Menurutnya, jika pengetahuan sudah mengakar di masyarakat dan pemerintah maka keputusan yang dibuat jauh lebih baik dari saat ini. “Sebetulnya kita tidak butuh me-restart ekonomi kita, tapi butuh me-restart cara berpikir negara ini,” ujarnya. Secara spesifik dalam konteks penguatan ilmu pengetahuan, Dosen Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia Roby Muhamad menilik pentingnya mengembangkan ilmu dasar. Tak hanya riset dasar di bidang ilmu alam seperti fisika, matematika, dan biologi tapi juga sosial humaniora seperti psikologi, sosiologi, dan ekonomi. Menurutnya, hal tersebut berguna untuk penanganan berbagai isu yang datang dengan cepat dan membutuhkan solusi cepat.

Namun, riset dasar masih belum menjadi prioritas pada kelompok makro riset (KMR) yang tertuang di Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) 2017 – 2045. Alokasi anggaran riset dasar masih minim. Porsi riset dasar juga hanya berada pada Riset Rintisan Terdepan. Ini didefinisikan sebagai kajian riset yang belum bisa langsung diaplikasikan, serta ditujukan untuk menjawab keingintahuan ilmiah. Sedangkan riset terapan berada pada kategori lainnya seperti riset terapan dan riset maju yang keduanya mencakup kajian riset rekayasa pendukung proses manufaktur.

“Karena harus ada orang-orang yang siap untuk kembali ke whiteboard untuk merancang segala sesuatu dari nol. Kalau masalahnya baru muncul di dunia, belum pernah ada seorangpun yang menghadapi masalah tersebut, mau tidak mau kita cari solusi nya dari nol, nah itu kemampuan riset dasar,” katanya. Selain meningkatkan kapasitas riset dasar, pembuat kebijakan merupakan salah satu aktor kunci untuk mengantisipasi emerging issue. Agar penanganan efektif, penting bagi pemangku kebijakan untuk menghasilkan regulasi yang berbasis bukti dan riset. Pada esai ISEAS – Yusof Ishak Institute yang bertajuk “Urgent Need to Strengthen State Capacity: Learning from Indonesia’s COVID-19 Crisis”, Yanuar Nugroho dan Siwage Dharma Negara menjelaskan langkah-langkah yang perlu dilakukan negara untuk menangani emerging issue, khususnya isu COVID-19. Data yang akurat dan dapat diandalkan menjadi solusi utama segala permasalahan bagi negara modern.

Sayangnya, Indonesia minim informasi dan kesiapan yang terlihat dari buruknya tata kelola data. Ini yang mengakibatkan penanganan COVID-19 menjadi lambat, terfragmentasi, dan bersifat sementara (ad-hoc). Masalah lainnya, infrastruktur kesehatan publik masih terbatas. Menurut esai tersebut, ada enam aspek kapasitas negara yang harus dipertimbangkan dalam penanganan pandemi. Pertama, memperkuat sistem kesehatan publik. Kedua, meningkatkan mekanisme penetapan sasaran yang kredibel dengan dukungan data penerima manfaat yang akurat dari program jaring pengaman sosial (social safety net). Ketiga, membenahi Aparatur Sipil Negara (ASN) karena birokrasi yang tidak efisien memperlambat respon suatu krisis. Keempat, meningkatkan kapasitas instansi pemerintah agar lebih gesit dan akuntabel. Kelima, membentuk regulatory sandbox berupa strategi pembuatan kebijakan dengan menguji inovasi kebijakan pada skala yang lebih kecil. Keenam, memperkuat tata kelola data dan kerangka e-government.

Penanganan Pandemi Sebagai Hal Baru

Petugas medis sedang beristirahat setelah melakukan tes Swab COVID-19 di KRL Commuter Line di Stasiun Bojong Gede, Bogor, Jawa Barat, Senin (11/5). Credit: Adi Maulana Ibrahim | Katadata

Associate Professor Institute for Population and Social Research (IPSR) Mahidol University Rosalia Sciortino berpendapat, belum ada negara yang sepenuhnya mengimplementasikan riset dan inovasi dalam penanganan pandemi. Seluruh aktor masih belajar memahami sang virus. Rosalia melihat, ada dua faktor yang mempengaruhi penanganan di masing-masing negara. Pertama, ilmu pengetahuan yang tidak atau minim diikutsertakan. “Banyak bidang belum establish karena banyak situasi yang tidak menentu,” ujarnya dalam wawancara virtual dengan Katadata.

Kedua, adanya kepentingan politik dari kelompok tertentu atau pemangku kebijakan. Ini membuat penanganan pandemi tidak murni didasari ilmu pengetahuan. Padahal, peran ilmu pengetahuan sangat penting. Dia mencontohkan Jerman sebagai negara yang dapat menempatkan riset dan inovasi pada pembuatan kebijakan penanganan pandemi secara komprehensif. Jerman saat ini memiliki komite khusus penanganan COVID-19 yang bernama Außerparlamentarischer Corona Untersuchungsausschuss atau Komite Ekstra-Parlemen Investigasi Corona. Komite tersebut diisi beragam ahli. Tak hanya dari sisi riset kesehatan, tapi juga sosial humaniora bahkan bidang kemanusiaan.

Sudut pandang yang komprehensif dalam melihat pandemi bisa menghasilkan kebijakan yang tepat sasaran. Selain itu, Rosalia mengatakan, ketepatan penempatan aktor dalam penanganan emerging issue akan meminimalisir risiko penanganan yang buruk dan dampak yang lebih panjang . “Yang menarik, ilmu tidak dianggap secara sempit bahwa hanya science, eksakta, virologi, atau medis. Karena jika mereka sendiri, tidak akan bisa menyelesaikan masalah,” ucapnya.

Source: https://katadata.co.id/timrisetdanpublikasi/analisisdata/5fe02ed68017d/riset-dan-inovasi-untuk-pembangunan-berkelanjutan-di-tengah-tantangan-tak-terduga