Antropolog: Narasi Ketakutan Tak Efektif Cegah Corona, Apa Maksudnya?, Kompas

KOMPAS.com – Di tengah wabah pandemi Covid-19, beragam narasi muncul sebagai bentuk respon terhadap penyakit baru yang belum diketahui kapan pastinya akan berakhir.

Antropolog Kesehatan dari Mahidol University Thailand, Profesor Rosalia Sciortino mengungkapkan bahwa narasi yang muncul ini juga berkaitan dengan budaya di masyarakat.

Secara umum dan banyak bermunculan adalah budaya narasi yang menonjolkan ketakutan dan saling menyalahkan antar-masyarakat dan juga pemangku kebijakan. Bahkan ini tidak hanya terjadi di negara Indonesia saja, melainkan berbagai negara di dunia.

“Apa image yang kita mau promosikan (menghadapi pandemi Covid-19), tapi yang paling banyak itu pakai ketakutan,” kata Rosalia dalam diskusi daring bertajuk “Etnografi dan Pandemi: Covid-19 dalam Narasi Antropologi Kesehatan”, Jumat (5/6/2020).

Narasi ketakutan

Menurut Rosalia, menyebarkan narasi berisi ketakutan secara jelas bukanlah hal yang tepat untuk dapat menyudahi persoalan pandemi Covid-19.

“Masyarakat banyak disebarkan narasi penuh ketakutan tentang Covid-19. Padahal, ketakuta tidak efektif dari segi pencegahan,” ujar dia.

Alhasil, banyak orang yang takut melakukan sesuatu termasuk ke rumah sakit sekalipun. Padahal, kondisinya memang sedang sakit baik terinfeksi Covid-19 maupun bukan karena infeksi virus corona SARS-CoV-2.

“Kalau orang sudah terlanjur takut ke rumah sakit, padahal sakit. Maka, akan lambat diobati,” jelas dia.

Oleh sebab itu, budaya saling menyebarkan ketakutan di tengah pandemi ini seharusnya bisa dikontrol oleh setiap individu dan juga pemerintah yang berkewenangan.

Narasi saling menyalahkan

Bukan rahasia umum, Anda menjadi pembaca komentar ataupun cuitan antar-masyarakat dan juga pejabat publik yang menyalahkan oknum-oknum tertentu terkait menghadapi pandemi Covid-19 ini.

Dicontohkan Rosalia, tindakan menyalahi orang lain tidak patuh terhadap anjuran atau imbauan pencegahan Covid-19. Ini biasanya dilakukan kepada kelas sosial bawah.

Seharusnya, tegas dia, perlu adanya pemahaman dan mencoba memahami kenapa orang tidak patuh terhadap anjuran tersebut.

“Apakah dia dalam kondisi yang memungkinkan untuk mematuhi petunjuk-petunjuk (anjuran) itu, dan selalu yang disalahkan yang kelas menengah ke bawah.  Ini ada bias kelas yang kita harus menyadari,” tuturnya.

Ketahanan untuk pencegahan Covid-19

Rosalia menegaskan perlu juga dekonstruksi stigma dan diskriminasi serta socio-ekonomis bias untuk mengoptimalkan anjuran atau himbauan yang dikeluarkan.

Oleh sebab itu, penting untuk melakukan identifikasi kebutuhan dan merumuskan strategi untuk memperkuat individu dan komunitas.

Memperkuat ketahanan tersebut bisa dilakukan dengan membuat strategi yang efektif dan alternatifnya dari segi bantuan ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya.

“Jadi dari ketakutan kita harus ke ketahanan. Dari blaming, menyalahi, kita harus membuat peraturan yang efektif dan memperkuat sumber daya manusia dan komunitas,” tegasnya.

Source: https://www.kompas.com/sains/read/2020/06/12/120400123/antropolog–narasi-ketakutan-tak-efektif-cegah-corona-apa-maksudnya-?page=all