Legacy Bu Menkes, Intisari
Intisari-Online.com – Kepergian Menkes Endang Rahayu Sedyaningsih untuk selama-lamanya pada hari Rabu (2/5), pukul 11.41 di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, menyentakkan kita. Sejak diagnosis ditegakkan Oktober 2010, berita itu tak butuh waktu lama untuk bocor ke telinga pers. Masyarakat yang membaca atau mendengarnya, tidak berani berkomentar, kecuali menghela napas panjang sambil mengelus dada.
Sementara waktu terus bergulir, ada yang tak biasa. Endang tetap bekerja seperti biasa. Kepada Rosalia Sciortino, pakar ilmu sosial kesehatan, ia berkata, dengan terus bekerja, hari-harinya menjadi lebih berharga dan bermakna (Jakarta Post, 4/5). Tidak terdengar seperti kata-kata orang yang sudah divonis mati.
Bagi banyak orang, kanker, apalagi pada paru, stadium lanjut pula, memang vonis mati. Yang pertama terucap biasanya, “Why me …?” tapi Bu Endang mengatakan, “Hidup saya penuh kebahagiaan, so … why not? Mengapa tidak, Tuhan menganugerahi saya kanker paru? Tuhan pasti mempunyai rencana-Nya, yang belum saya ketahui … Setidaknya saya menjalani sendiri penderitaan yang dialami pasien kanker, sehingga bisa memperjuangkan program pengendalian kanker dengan lebih baik.” (Kata sambutan buku Berdamai Dengan Kanker, 13/4).
Endang, perempuan peneliti yang kelembutannya terpancar di cahaya wajah dan sorot pandangnya itu, tidak kehilangan api semangat sampai ia benar-benar meninggalkan kehidupan. Sesuatu yang luar biasa, karena menurut penelitian di AS, pasien kanker justru bisa mengalami rasa tertekan secara spiritual, karena merasa mendapat hukuman dari Tuhan (National Cancer Institute at the National Institute of Health, cancer.gov).
Sebagai seorang pasien penyakit berat, Endang terus bekerja dan membuat dirinya berguna. Ironisnya, banyak orang lain telah kehilangan api semangat itu jauh sebelum waktunya. Situasi yang sama, direspons secara berbeda.
Kemarin di kantor Gramedia of Magazine, Kebon Jeruk, Jakarta, kami disentakkan oleh seorang HR trainer yang berbicara bagai G. Merapi. Eloy Zalukhu, putra Nias yang meledak-ledak itu, mempunyai banyak cerita, salah satunya begini.
Brur Benny (nama diganti) diutus atasannya ke suatu pulau yang berpenduduk dua juta. Tugasnya mengukur peluang bisnis di sana. Maklumlah, Benny bekerja di perusahaan sepatu. Sepulangnya dari sana, ia melapor dengan wajah kuyu dan suara tanpa gairah, “Percuma Bos. Dua juta orang di sana, tak seorang pun bersepatu.”
Untuk meyakinkan, si bos mengutus Zena ke pulau yang sama. Sepulangnya dari sana, Zena melapor dengan mata bersinar-sinar dan suara penuh semangat, “Sip Bos. Peluang besar. Dua juta orang di sana, belum ada yang bersepatu!”
Setiap hari terjadi berjuta peristiwa dan situasi, dan lebih banyak lagi ragam responsnya.
Karena respons positifnya terhadap kanker, rekan kerja Endang tidak merasakan bahwa ia seorang pasien kanker. Tak kurang dari Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, “… Beliau sosok yang tidak pernah mengeluh dan tidak mengenal lelah meski ia merasakan sakit yang dideritanya.” (Kompas.com)
Berkat api semangat itu, ia terus berkarya sampai fisiknya benar-benar kalah. Tapi benarkah Endang sungguh telah kalah? Entah berapa ribu orang yang membaca atau menonton tayangan obituari tentang dia, menyimak komentar orang-orang yang mengenalnya, ikut bersedih untuk kepergiannya, dan terinspirasi oleh ketangguhannya.
Katakanlah itu profesionalitas atau kepedulian, yang jelas seseorang bernama Endang R. Sedyaningsih bergeming terhadap hajaran kanker. Integritasnya, etos kerjanya, dan keberpihakannya pada yang sakit justru semakin diperkuat di bawah bayang-bayang monster kanker itu.
“Sungguh, lamanya hidup tidaklah sepenting kualitas hidup itu sendiri. Mari lakukan sebaik-baiknya apa yang bisa kita lakukan hari ini. Kita lakukan dengan sepenuh hati,” tulisnya dalam Berdamai Dengan Kanker.
Lalu, kalau kita percaya bahwa eksistensi seorang manusia tidak serta-merta lenyap saat jasadnya menjadi dingin, maka kita meyakini orang yang pernah demikian kaya dengan api semangat itu, pasti berkehendak mewariskannya kepada siapa pun yang siap menerimanya.
Siapkah Anda meneruskan hidup dengan integritas, etos kerja, mentalitas tahan banting, yang dibungkus ketulusan? Raihlah api itu sekarang.
(FYI: Besar kemungkinan, keempat hal tersebut akan memberikan juga kepada Anda bonus, yaitu kesuksesan.)
Source: https://intisari.grid.id/read/0333054/legacy-bu-menkes?page=all