70 Tahun Deklarasi Universal HAM, Begini Kondisi Hak Asasi di Asia Tenggara, Liputan 6
Liputan6.com, Jakarta – Keluarnya Amerika Serikat dari Dewan HAM PBB pada 19 Juni lalu, masih terus terjadinya pengkambinghitaman terhadap sejumlah kelompok minoritas di berbagai belahan dunia dan terus berjadinya beragam bentuk pelanggaran HAM, membuat peringatan Hari HAM Sedunia pada 10 Desember ini (memperingati 70 tahun Majelis Umum PBB mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau DUHAM) terasa paradoks.
Poin-poin penting yang disepakati 48 negara penandatangani deklarasi itu 70 tahun lalu, yang menggarisbawahi hak-hak sebagai manusia, tanpa memandang suku, agama, ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, pandangan politik dan lainnya; saat ini terasa semakin relevan.
“Stand Up for Human Rights” yang menjadi tema besar peringatan tahun ini, seakan menampar wajah kita yang masih belum berani bersuara lantang membela mereka yang masih menjadi korban pelanggaran HAM. Fenomena paling nyata adalah pengkambinghitaman kelompok minoritas.
Sosiolog dan pendiri SEA Junction, Dr. Rosalia Sciortino Sumaryono, yang minggu lalu melangsungkan diskusi “Scapegoating The Other in South East Asia” mencontohkan tindakan pengkambinghitaman di Indonesia, Myanmar dan Filipina.
“Ini paradoks. Ketika ada kuasa sentralistik atau militer, ini tidak menonjol. Tetapi ketika negara lebih terbuka, fenomena scapegoating ini justru marak. Misalnya di Myanmar, Rohingya sejak dulu memang didiskriminasi. Tetapi semakin parah ketika berlangsung pemilu. Pemilu pertama muncul ide-ide nasionalis Myanmar, dan mengaitkannya dengan agama Budha, dan yang tidak termasuk bukan kelompok itu dikejar, didiskriminasi, bukan warga negara dan tidak punya hak,” ujar Lia kepada VOA, Minggu 10 Desember 2018.
Tahun ke-70 DUHAM, Pembersihan Etnis Rohingya Terjadi
Lebih dari 700 ribu warga minoritas Rohingya melarikan diri dari negara bagian Rakhine, Myanmar, ke Bangladesh setelah militer Myanmar melakukan kampanye bumi hangus secara besar-besaran Agustus 2017 lalu.
Pihak militer berkilah tindakan mereka itu merupakan pembalasan terhadap serangan militan Rohingya yang menewaskan 10 polisi Myanmar sebelumnya.
Namun penyelidikan tim independen PBB membuktikan adanya upaya sistematis untuk membantai, membunuh, memperkosa dan membakar desa-desa minoritas Rohingya; yang dikategorikan sebagai pembersihan etnis.
Kelompok HAM terkemuka di dunia, Amnesty International, 12 November lalu melucuti penghargaan Duta Hati Nurani atau Ambassador of Conscience yang sempat dianugerahkan kepada Aung San Suu Kyi, karena tidak sekali pun berbicara tentang aksi pembantaian kelompok minoritas di negaranya itu.