Langkah Mundur, Ruang Perawatan Khusus AIDS , Kompasiana
Saya sependapat dengan Ibu Lia (Rosalia Sciortino, MA, PhD) yang kini di Ford Foundation Manila, Filipina tentang HIV/AIDS, “Masalah HIV/AIDS ini cukup dibicarakan lima menit,” katanya berulang kali kepada saya. Tetapi, karena HIV/AIDS dikaitkan dengan mitos dan ada pula kalangan yang membalut dirinya dengan agama dan moral jika berbicara perihal HIV/AIDS, maka persoalan HIV/AIDS pun tidak akan selesai dalam lima dasawarsa, bahkan bisa lebih.
Jadi, sebagai awam di bidang medis saya pun hanya bisa mengurut dada melihat sikap dokter di RS. Dr. Soetomo Surabaya yang membuat ruang khusus bagi Odha. Kalau pun pasien AIDS dapat menularkan HIV tentulah tidak semudah penyebaran basil TB, virus hepatitis B dan C, serta penyakit lain yang dapat menular melalui media udara dan keringat. Maka, bagi saya sebagai awam amatlah janggal kalau kalangan medis yang jauh lebih mahfum soal HIV/AIDS harus memakai baju ala astronot dalam merawat Odha.
Di sektor medis dikenal kewaspadaan umum. Dengan menerapkan ini saja sudah merupakan satu langkah yang sangat berarti. Itulah yang sering disebutkan pengamat tinju Syamsul Anwar Harahap, “Bisa mengelak saja sudah merupakan separo dari kemampuan bertinju.” Nah, seorang petinju yang baik pukulannya pun kalau tidak bisa mengelak tentu akan dikalahkan petinju yang bisa mengelak dengan baik dan memukul dengan setengah baik. Maka, kalau tenaga medis dan nonmedis di rumah sakit tidak menerapkan kewaspadaan umum, tentu terhadap semua aspek, tentulah mereka sudah kehilangan separo dari kemampuannya. Maka, saya sangat menghargai permintaan seorang wakil direktur sebuah rumah sakit pemerintah di Jakarta agar tidak menulis fakta seputar penularan virus hepatitis B. Menurut dia, di ruang perawatan pasien ada risiko penularan virus hepatitis B terhadap tenaga medis, nonmedis dan pengunjung. Begitu pula ketika saya masih di Medan, seorang ibu teman yang berobat ke Puskesmas pulang ke rumah justru membawa penyakit (ketika itu disebut penyakit kuning).
Itu menunjukkan separo dari kewaspadaan umum tidak dijalankan. Jika seorang anggota keluarga sakit mata, mengapa hampir semua sakit mata? Penyakit itu tidak menular melalui udara. Tentu saja karena mencuci tangan setelah memegang sesuatu yang ungkin menjadi media penularan virus, kuman atau bakteri tidak dibiasakan sebagai bagian dari kewaspadaan umum.
Karena sebagai virus, HIV tidak menular melalui pergaulan sosial dan media udara tentulah amat janggal kalau ada perawat atau dokter yang memeriksa pasien AIDS memakai baju astronot. Ruang perawatan AIDS pun pun menjadi panggung hiburan bagi karyawan, pasien dan pengunjung rumah sakit karena ada astronot yang mendarat di sana. Kondisi itu pun kembali mengukuhkan mitos seputar HIV/AIDS. Orang akan melihat AIDS (baca: Odha) sebagai makhluk yang harus dijauhi.
Mengapa RS. Dr. Soetomo tidak belajar dari dr. Zubairi Djoerban, DSPD dan Dr. dr. Sjamsurizal Djauzi, DSPD dalam menangani pasien AIDS? Atau, bertanya ke rumah-rumah sakit di luar negeri? Tentu tidak perlu terbang ke sana karena ada jaringan internet.
Ruang khusus itu pun, apalagi dengan papan nama, akan menjadi pusat perhatian. Soalnya, seperti yang pernah dikemukakan oleh dr. Boyke Dian Nugraha, SOG, dalam satu seminar (Bali Post, 30/5-2000) orang-orang yang terinfeksi HIV dalam waktu lima tahun wajahnya akan berubah menjadi monster. Biar pun dia seorang wanita cantik atau pemuda yang ganteng. Ini akan memicu masyarakat berduyun-duyun melihat “monster” di ruang perawatan khusus AIDS.
Tindakan khusus bagi pasien Odha bukan dengan membuat jarak secara fisik, seperti yang dikemukakan oleh dr. Adi Sasongko dari Yayasan Kusuma Buana (YKB) Jakarta. Tindakan khusus yang dimaksud adalah tindakan-tindakan yang menghindarkan penularan HIV melalui cara-cara yang dikenal dalam dunia medis yaitu kewaspadaan umum. Ruang perawatan khusus itu pun akan membuat jarak fisik dan psikologis dengan pasien lain. Ini pun akan menyuburkan mitos pula karena mereka melihat hal itu sebagai salah satu cara mengarantina Odha. Pada gilirannya orang pun melihat AIDS (baca: HIV) menular melalui udara dan pergaulan sosial sehingga pasien AIDS harus diisolasi secara fisik dan psikologis.
Saya mengikuti berita-berita di Jawa Pos dan Surabaya Post seputar masalah AIDS di Surabaya, termasuk pernyataan dari RS. Dr. Soetomo. Bagaimana kita bisa memupus mitos dan stigma kalau pernyataan pakar dari rumah sakit dan petinggi di KPAD justru menguatkan mitos. Berita di Surabaya Post, misalnya, menyebutkan RS. Dr. Soetomo berhasil menyembuhkan pasien AIDS. Wakil Ketua KPAD mengatakan AIDS berkembang karena seks bebas, dan lain-lain pernyataan yang semuanya tidak mendukung kepedulian terhadap upaya-upaya melindungi diri sendiri agar tidak tertular HIV.
Bahkan, dalam catatan saya (berdasarkan kliping berita-berita media cetak nasional yang saya kumpulkan sejak tahun 1981) persoalan HIV yang paling heboh justru berawal dari Surabaya. Misalnya, ada Camat yang menyamar menjadi intel hanya untuk mengetahui dengan pasti siapa pekerja seks yang disebut HIV-positif. Untuk apa Pak Camat ini ingin memastikan pekerja seks yang HIV-positif itu?